Senin, 16 Agustus 2010

Jangan bersedih karena tidak maksimal ibadah shaum Ramadhan

Menjawab beberapa pertanyaan dari saudari2 , adek2, mbak2, teteh2, dan semuanya semoga bermanfaat. 

Haid bagi wanita merupakan salah satu bentuk nikmat dari Allah. Keberadaan darah haid pada wanita menunjukkan bahwa wanita tersebut memiliki kemampuan untuk memiliki keturunan. Islam memberikan penjelasan tentang beberapa hal berkaitan dengan darah haid wanita. 



Makna Haid 

Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir (سَيْلاً،جَرْيً). 

Adapun menurut istilah syar’i, haid adalah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab dan terjadi pada waktu tertentu. Jadi, darah haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, gangguan atau proses melahirkan. Darah haid antara wanita yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan, misalnya jumlah darah yang keluar, masa dan lama keluar darah haid setiap bulan. Perbedaan tersebut terjadi sesuai kondisi setiap wanita, lingkungan, maupun iklimnya. 

Hukum-Hukum haid

Ketika seorang wanita sedang dalam keadaan haid, ada hal-hal yang terlarang untuk dilakukan:
 

Shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Wanita haid tidak disyariatkan untuk mengganti shalat fardhu yang tidak dikerjakannya selama masa haid. 

Puasa, baik puasa fardhu maupun puasa sunnah. Akan tetapi, puasa fardhu (misalnya puasa Ramadhan) wajib diganti (qadha’) di hari lain di luar masa haidnya. 

Thawaf.

Jima’. Suami tidak boleh melakukan jima’ (senggama) dengan istrinya yang sedang haid. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya,“Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada tempat keluarnya darah (farji), dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.” (Qs. Al-Baqarah:222) 

Pertanyaan yang sering timbul:

Berdiam diri di masjid.

Sebagian ulama melarang seorang wanita masuk dan duduk di dalam masjid dengan dalil

“Aku tidak menghalalkan masjid untuk wanita yang haidh dan orang yang junub.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud no.232, al Baihaqi II/442-443, dan lain-lain)

Akan tetapi hadits di atas merupakan hadits dho’if (lemah) meski memiliki beberapa syawahid (penguat) namun sanad-sanadnya lemah sehingga tidak bisa menguatkannya dan tidak dapat dijadikan hujjah. Syaikh Albani -rahimahullaah- telah menjelaskan hal tersebut dalam ‘Dho’if Sunan Abi Daud’ no. 32 serta membantah ulama yang menshahihkan hadits tersebut seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu al Qohthon, dan Asy Syaukani. Beliau juga menyebutkan ke-dho’if-an hadits ini dalam Irwa’ul Gholil’ I/201-212 no. 193. 

Berikut ini sebagian dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan seorang wanita haid duduk di masjid (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/191-192): 

- Adanya seorang wanita hitam yang tinggal di dalam masjid pada zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Namun tidak ada dalil yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkannya untuk meninggalkan masjid ketika ia mengalami haidh. 

- Sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu’anha, “Lakukanlah apa yang bisa dilakukan oleh orang yang berhaji selain thowaf di Baitullah.” Larangan thowaf ini dikarenakan thowaf di Baitullah termasuk sholat, maka wanita itu hanya dilarang untuk thowaf dan tidak dilarang masuk ke dalam masjid. Apabila orang yang berhaji diperbolehkan masuk masjid, maka hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haidh. 

Kesimpulan: 

Wanita yang sedang haid diperbolehkan masuk dan duduk di dalam masjid karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Namun, hendaknya wanita tersebut menjaga diri dengan baik sehingga darahnya tidak mengotori masjid.  

Membaca Al-Qur’an dan menyentuh mushaf

Sebagian wanita menghentikan sama sekali rutinitasnya membaca Al-Qur’an, padahal tidak ada larangan sama sekali membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh. Masalah yang diperselisihkan adalah boleh tidaknya menyentuh mushaf Al-Qur’an (-ed.). Sebagian ulama’ berpendapat bahwa wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an. Mereka berdalil dengan ayat Al-Qur’an yang artinya,“Dan dia (Al-Qur’an) tidaklah disentuh kecuali oleh al-muthohharuun (orang-orang yang suci).” (Qs. Al-Waaqi’ah: 79)  

Hal tersebut tidaklah benar, sebagaimana penjelasan Syaikh Al-Albani bahwa yang dimaksud al-muthohharuun pada ayat tersebut adalah para malaikat. Pendapat lain yang menyatakan bolehnya wanita haid menyentuh mushaf Al-Qur’an, yaitu pendapat Ibnu Hazm.  

Meski demikian, sebaiknya jika mau menyentuh mushaf, memilih mushaf yang memuat terjemahnya dalam rangka keluar dari khilaf ulama, karena menurut ulama yang melarang menyentuh mushaf ketika haid, mushaf yang dimaksudkan adalah mushaf asli. Adapun mushaf yang saat ini banyak digunakan oleh kaum muslimin, seperti mushaf yang memuat ayat-ayat Al-Qur’an beserta terjemahannya atau yang memuat ayat-ayat Al-Qur’an beserta keterangan tambahan mengenai kaidah tajwid, bukanlah mushaf yang terlarang untuk disentuh oleh wanita haid.

Tetap Bersemangat Meskipun Sedang Haid
 


Sebagian wanita muslimah akan mengalami penurunan semangat beribadah atau bahkan penurunan iman di saat sedang haid. Padahal hal tersebut merupakan kesempatan emas bagi syaithan untuk menggoda mereka. Dijumpai beberapa kejadian wanita yang terkena gangguan jin terjadi di saat wanita tersebut sedang haid. Berikut ini adalah amalan-amalan bernilai ibadah yang bisa dilakukan di masa haid: 

Memperbanyak dzikir kepada Allah. 
Menghadiri majelis-majelis ta’lim. 
Membaca buku-buku agama. 
Bergaul dengan orang-orang shalihah yang dapat menjaga semangatnya. 
Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat bagi akhiratnya.
Membaca Al-Qur’an. 

Wallahu a’lam bishshawab. 

[Disarikan dari "Darah Kebisaan Wanita” (terjemah kitab Risalatu Fiid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisaa') oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin, penerbit: Darul Haq, Juni 2005, dengan beberapa tambahan] 

Artikel oleh Ummu Hasanah www.muslimah.or.id 
www.medicalzone.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar