Kamis, 25 November 2010

Butiran Impian di Paru--> DOTS


DIRECTLY  OBSERVED TREATMENT  SHORT COURSE (DOTS)
 
 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.

DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku /standar

 Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO:
1.  Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu
2.  Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS dan pendekatan-pendekatan lain yang relevan
3.  Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan pelayanan umum
4.  Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan nonpemerintah dengan pendekatan berdasarkan Public-Private  Mix (PPM) untuk mematuhi International Standards of TB Care
5.  Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif
6.  Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program

A. Tujuan :

  ·    Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
  ·    Mencegah putus berobat

  ·    Mengatasi efek samping obat jika timbul

  ·    Mencegah resistensi

B. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :

Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur, sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO: 
1. Petugas kesehatan
2. Orang lain (kader, tokoh masyarakat)
3. suami/istri/keluarga/orang serumah


Pasien dirawat :
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah sakit, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.
 
C. Langkah Pelaksanaan DOT
Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai,  pasien diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT

D. Persyaratan PMO  

PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS. 

- PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien   

E. Tugas PMO 

-Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik 
-Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat 
-Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan 
-Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai 
-Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan obat 
-Merujuk pasien bila efek samping semakin berat 
-Melakukan kunjungan rumah 
-Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB

F. Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara :

 ·        Peroranga/Individu
          Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dll
 ·        Kelompok
          Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit dll
 
Cara memberikan penyuluhan
 .          Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
 .          Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya
 .          Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
 .          Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan alat peraga (brosur, leaflet dll)

 
PENCATATAN DAN PELAPORAN
   Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi dan tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula.
     Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir yaitu :
 1. Kartu pengobatan TB (01)
 2. Kartu identiti penderita TB (TB02)
 3.
Register laboratorium TB (TB04)
 4. Formulir pindah penderita TB (TB09)
 5. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)
Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB Nasional (P2TB)
Jika memungkinkan data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam formulir Register TB (TB03).
 
Catatan :
 .
Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan pencatatan pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
 .  Bila seorang pasien ekstraparu pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstraparu pada organ yang penyakitnya paling berat
 .  Contoh formulir terlampir
         
LAMPIRAN
  LAMPIRAN I   
ALUR DIAGNOSIS P2TB

  LAMPIRAN II    
INTERNATIONAL STANDARD FOR TUBERCULOSIS CARE  
   International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang consisten dengan rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan baru di launching pada bulan februari 2006 serta akan segera dilaksanakan di Indonesia.
   International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu 6 estándar untuk diagnosis , 9 estándar untuk pengobatan dan 2 standar yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Adapun ke 17 standar tersebut adalah :
  1. Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang tidak dapat dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberkulosis

  2. Semua pasien yang diduga tenderita TB paru (dewasa, remaja dan anak anak yang dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara mikroskopis sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan minimal 1 kali pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari

  3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstraparu (dewasa, remaja dan anak) harus menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila tersedia fasiliti dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan pemeriksaan histopatologi

  4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi

  5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari), foto toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada respons terhadap antibiotik spektrum luas (hindari pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.tb sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien denagn atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan.

  6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak dengan BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat riwayat kontak atau uji tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada pasien demikian, bila ada fasiliti  harus dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang berasal dari batuk, bilasan lambung atau induksi sputum.

  7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus  menemukan kasus-kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai.

  8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif untuk fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut diatas kususnya pada pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan rifampisin, yang terdiri dari 3 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung saat menelan obat.

  9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan  terhadap pengobatan perlu dikembangkan suatu pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan kebutuhan pasien dan hubungan yang saling menghargai antara pasien dan pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan harus memperhatikan kesensitifan gender dan kelompok usia tertentu dan sesuai dengan intervensi yang dianjurkan dan pelayanan dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan konseling pasien. Elemen utama pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah penggunaan pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat menemukan bila terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat khusus untuk  keadaan masing masing individu  dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung minum obat oleh PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien dan sistem kesehatan

  10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan ke lima pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan 15). Penilaian respons terapi pada pasien TB paru ekstraparu dan anak-anak, paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading)

  11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis dan efek samping harus ada untuk semua pasien

  12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan co infeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang  diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat  risiko tinggi terpajan HIV.

  13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai indikasi untuk diberi terapi antiretroviral dalam masa pemberian OAT.Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat antiretroviral harus dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat terdapat kompleksiti pada pemberian secara bersamaan antara obat antituberkulosis dan obat antiretroviral maka dianjurkan untuk berkonsultasi kepada pakar di bidang tersebut sebelum pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan penyakit apa yang muncul lebih dahulu. Meskipun demikian pemberian OAT jangan sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk infeksi lainnya.

  14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua pasien yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan sumber yang mungkin sudah resisten dan prevalens resistensi obat pada komuniti. Pada pasien dengan kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan kultur dan uji sensitifity terhadap INH, rifampisin dan etambutol.

  15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obat-obat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang berorientasi kepada pasien. Konsultasi dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.

  16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya kontak dengan kasus infeksius harus dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif

  17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus pengobatan ulang dan keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan yang berlaku

Sumber        : http://www.klikpdpi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar