Senin, 27 Desember 2010

Butiran Impian Tarbiyahku--> Said ibn al-Musayyib

Abu Muhammad Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah, Ahli Fiqih dan Mufti dari Madinah
Beliau dilahirkan di Madinah dua tahun pertama pada jaman Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Namanya adalah Sa’id bin Al-Musayyib bin Hazan bin Abi Wahab bin ‘Amr bin ‘Aidz bin ‘Imran bin Makhzum Al-Qurasyi Al-Makhzumi, seorang ahli fiqih kota Madinah dan tokoh tabi’in (generasi setelah shahabat). Beliau memakai kunyah Abu Muhammad.

Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah adalah seorang tabi’in yang paling mengerti tentang halal haram, ahli fatwa (mufti), dan seorang yang cerdas. Tak heran kalau Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengambilnya sebagai menantu. Setiap kali Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bertemu dengannya, ia berkata, “Aku memohon kepada Allah agar mengumpulkan kita dalam pasar surga.” Barangkali dari sinilah beliau -yang tidak mau mengambil pemberian orang dan usaha kesehariannya adalah berjualan biji zaitun- banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di samping dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Bahkan dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim rahimahullah dan ulama tarikh lainnya menilai ia adalah tabi’in yang sangat loyal terhadap ‘Umar dan semua ilmu serta fiqih hasil ijtihad ‘Umar yang konstektual diambil dan dikuasainya.

Di Madinah sendiri banyak ditemukan ahli fiqih selain beliau. Dalam menyebutkan ahli fiqih tabi’in dari Madinah, seorang penyair menulis sajaknya: Jika ditanya siapa yang memiliki ilmu? Tujuh lautan.
Riwayat mereka tidak keluar dari ilmu.
 
Katakanlah: mereka adalah ‘Ubaidillah, ‘Urwah, Qasim, Sa’id (bin Al-Musayyib), Abu Bakar, Sulaiman, dan Kharijah.

Salah satu bukti banyaknya hadits yang Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah riwayatkan dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu adalah hadits tentang rajam. Diriwayatkan darinya, katanya: Aku mendengar ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata di atas mimbar: “Nanti setelahku, aku prediksikan ada beberapa kaum yang mendustakan rajam dan berkata: ‘Rajam tidak ada dalam Kitabullah.’ Sungguh kalau boleh aku menambah Al Qur’an niscaya aku menulis di dalamnya. Rajam adalah benar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan aku sendiri pernah merajam.” Hadits ini sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim*.

Karena keahlian, kecerdasan, amanah, kejujuran dan segudang akhlak baik lainnya, banyak ulama yang sejaman maupun yang setelahnya, memberikan sanjungan dan pujian padanya.

Seperti yang dikisahkan Abu Thalib katanya, aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: “Bagaimana dengan Sa’id bin Al-Musayyib?”
Al-Imam Ahmad menjawab: “Siapa yang semisal dengannya? Ia amanah dan orang baik.” Abu Thalib (muridnya) berkata: “Apakah kabar Sa’id dari ‘Umar merupakan hujjah?”
Al-Imam Ahmad berkata: “Dia hujjah bagi kami, ia pernah melihat dan mendengar dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Jika hadits Sa’id dari ‘Umar tidak diterima, maka siapa lagi yang diterima?”

Sa’id yang telah banyak menyumbangkan ilmu kepada dunia Islam wafat pada tahun 94 H pada masa Khalifah Al-Walid bin ‘Abdul Malik, dalam usia 75 tahun di tempat kelahirannya. Pada tahun itu dinamakan tahun fuqaha karena banyaknya fuqaha yang wafat.

‘Amr bin Dinar berkata: “Ketika Zaid bin Tsabit wafat, Ibnu Abbas berkata, ‘Ilmu telah hilang’. Sa’id bin Al-Musayyib mengatakan yang sama dengan perkataan Ibnu ‘Abbas ketika Ibnu ‘Abbas wafat. Dan ketika Sa’id wafat aku katakan seperti yang dikatakan Ibnu ‘Abbas.”

Kisah teladan Said ibn Al-Musayyib
Diceritakan oleh: Badiatul Muchlisin Asti

Abdullah bin Abu Wada’ah namanya. Ia adalah seorang laki-laki yang sangat miskin. Kerut-kerut kemiskinan menyemburat jelas di mukanya. Siapa pun yang melihatnya, pasti akan berkata kepadanya, “Engkau adalah seorang yang miskin papa!” Namun, ia adalah seorang muttaqin yang taat ibadah dan rajin menimba ilmu.
 
Abdullah bin Abu Wada’ah selalu hadir pada majlis pengajian guru besarnya, Imam Besar Masjid Nabawi Madinah yang merupakan ulama besar pada masanya. Namanya Sa’id bin al-Musayyib. Dari 
gurunya inilah, ia mereguk ilmu-ilmu Al-Qur’an dan sunah Nabi Saw.
 
Setiap kali ia minum dari mata air ilmu yang murni dan bersih ini, ia semakin haus untuk terus mereguknya. Karena itu, ia semakin rajin datang ke majelis pengajian gurunya. Namun, tetap saja ia merasa tidak pernah kenyang dengan tetes-tetes ilmu dan hikmah yang mengalir dari lidah Imam Besar Sa’id bin al-Musayyib. Itu semua seakan-akan menjadikan Abdullah bin Wada’ah mendapatkan madu dan air surga yang memuaskannya, sehingga rasa persaudaraan dan kasih sayang tumbuh antara murid dan guru itu.
 
Hari-hari terus berlalu, sedangkan Syaikh Sa’id bin al-Musayyib terus mengalirkan ilmu dan hikmah ke dada muridnya itu, sehingga cahaya kalam Allah dan mutiara sunah Nabi-Nya terpatri di hati muridnya. Hasilnya, Abdullah bin Abu Wada’ah menjadi seorang murid yang benar-benar rindu dan cinta akan ilmu dan hikmah, serta hormat dan ikhlas kepada gurunya.
 
Imam Besar Sa’id bin al-Musayyib sendiri adalah seseorang yang dikaruniai Allah harta yang banyak, ilmu yang luas, serta nasab yang mulia. Dia seorang yang wara’, zuhud, dan bertakwa. Dia telah menunaikan ibadah haji ke Baitullah sebanyak lebih dari 30 kali, dan selama 40 tahun tidak pernah ketinggalan mendapatkan takbiratul ihram pada setiap jamaah. Dia tidak pernah tidak berada pada shaf pertama setelah 40 tahun tersebut.
 
Perbedaan status ekonomi tidak menjadi penghalang pergaulan antara guru dan murid itu. Bahkan, semua itu semakin mempererat rasa persaudaraan yang tulus ikhlas lillahi ta’ala. Sehingga menyatukan mereka dalam lingkaran cahaya ilahi. Mereka pun merasa bahwa salah satu dari mereka berdua adalah saudara yang lain.
 
Syaikh Sa’id bin al-Musayyib mempunyai seorang putri yang dikenal sebagai seorang muslimah mukminah yang nyaris sempurna. Selain berparas jelita, imannya juga teguh, ilmunya pun tentang Kitabullah dan Sunah Rasulullah Saw luas membentang.
 
Amirul Mukminin masa itu, yakni Abdullah bin Marwan (sebagian riwayat menyebut Hisyam bin Abdul Malik) telah mendengar kabar putri dari Syaikh Sa’id bin al-Musayyib tersebut. Dia ingin meminang putri Syaikh untuk anaknya, sang putra mahkota.
 
Datanglah seorang utusan dari Amirul Mukminin kepada Sa’id bin al-Musayyib untuk menyampaikan keinginan Amirul Mukminin tersebut. Namun, apa jawaban Syaikh Sa’id bin al-Musayyib? Syaikh Sa’id hanya menjawab, “Tolong sampaikan kepada Amirul Mukminin bahwa saya menolak pinangan ini.”
 
Utusan itu pun berkata, “Apa alasan engkau menolak pinangan Amirul Mukminin?”.
Syaikh Sa’id, “Karena putra mahkota adalah laki-laki yang tidak terpuji perilakunya selama ini.”
Kemudian utusan tersebut berkata, “Apakah engkau menolak kekuasaan, kemegahan, kekayaan, dan harta benda yang melimpah ruah ? Apakah engkau menolak kekuasaan Amirul Mukminin?”
Syaikh Sa’id menjawab, ”Apabila harga dunia dengan segala isinya tidaklah lebih dari harga satu sayap nyamuk di sisi Allah, maka sebesar apakah kiranya harga kekuasaan Amirul Mukminin itu?”
Setelah gagal dengan cara lunak, utusan itu akhirnya memakai cara kekerasan, “Saya khawatir, apabila engkau akan merasakan kekerasan hukuman Amirul Mukminin yang tidak terpikul oleh manusia akibat siksaan dan kehinannya.”
Syaikh Sa’id menjawab, “Allah telah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman….”(QS. Al-Hajj : 38)
 
Cara apapun tidak dapat melunakkan kehendak Sa’id bin Al-Musayyib dalam menolak pinangan ini.
Pada hari selanjutnya, ketika guru besar itu sedang menyampaikan pengajiannya di Masjid Nabawi, dia tidak menemukan seorang muridnya, yaitu Abdullah bin Abu Wada’ah selama tiga hari berturut-turut. Dia tidak mengetahui sebab ketidakhadirannya.
 
Ketika Syaikh Sa’id pulang ke rumahnya, dia mendapati putrinya yang cantik dan penuh semburat ilmu. Melihat ayahnya datang, putrinya segera bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayah, apa tafsiran dari ayat Al Quran ini, ‘….Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat’ (QS. Al-Baqarah: 200). Jadi, apakah kebaikan dunia itu, wahai ayah?”
Syaikh Sa’id menjawab, “Wahai anakku, ia hanyalah boleh disebut apabila disebut beriringan dengan kebaikan akhirat, sedangkan aku tidak melihat kebaikan dunia untuk laki-laki kecuali dengan wanita yang shalihah, dan tidak pula untuk wanita kecuali dengan….”
 
Sebelum sempat Syaikh Sa’id menyempurnakan perkataannya, tiba-tiba ada seorang mengetuk pintu. Ternyata adalah Abdullah bin Abu Wada’ah, murid yang disayanginya.
Melihat Abdullah bin Abu Wada’ah datang, Syaikh Sa’id segera bertanya, “Kemana saja engkau selama ini, wahai Ibnu Abu Wada’ah?”
“Istriku meninggal dunia, hal itu cukup menyibukkanku dari menghadiri majlismu dan aku mohon maaf,” kata Abdullah bin Abu Wada’ah.
Syaikh Sa’id berkata, “Mengapa engkau tidak memberi tahu kami, sehingga kami dapat bertakziah dan ikut membantumu?”
 
Kemudian syaikh itu menasihati Abdullah bin Abu Wada’ah panjang lebar dan menerangkan kepadanya tentang surga, neraka, dan hisab kubur, sehingga seakan-akan ia melihat gambaran kubur yang dihuni istrinya, sehingga air matanya pun mengalir.
 
Setelah Ibnu Wada’ah pamit pulang, pembicaraan antara Syaikh Sa’id dan putrinya dilanjutkan kembali. “…dan tidak pula untuk wanita kecuali dengan seorang laki-laki yang shalih pula….” kata Syaikh Sa’id melanjutkan keterangannya kepada putrinya yang terputus tadi.
Ketika menyebut kata “laki-laki yang shalih”, maka suasana menjadi hening. Sedangkan di kepala Syaikh terwujud bayangan dan gambaran sosok Abdullah bin Abu Wada’ah, karena memang muridnya itulah sosok laki-laki shalih yang paling dekat dengannya.
 
Beberapa hari kemudian, di sebuah kesempatan, Syaikh Sa’id bertanya kepada Abdullah bin Abu Wada’ah, muridnya yang sangat disayanginya. “Apakah engkau mau kawin lagi dengan wanita lain?”tanya Syaikh Sa’id.
“Wahai Syaikh, semoga Allah merahmati engkau. Apakah yang aku miliki dari dunia sekarang ini dan siapakah yang mau kawin denganku, sedangkan aku hanya mempunyai uang tiga dirham?” jawab Abdullah bin Abu Wada’ah.
Syaikh Sa’id lantas menjawab, “Saya!”
 
Mendengar jawaban Syaikh Said itu, pikiran Abdullah bin Abu Wada’ah langsung melayang-layang dan menduga-duga. “Apakah kiranya yang dimaksud oleh Syaikh? Barangkali dia bermaksud membantuku dengan sedikit harta, agar aku dapat menemukan seorang wanita yang sesuai dengan keadaan keuanganku, karena aku adalah seorang fakir yang tidak mempunyai harta kekayaan. Atau barangkali dia bermaksud mencarikan untukku seorang wanita miskin pula yang akan rela menikah denganku,” batin hati Abdullah bin Abu Wada’ah.
 
Namun, sempat pula terlintas bayangan di benak Abdullah bin Abu Wada’ah, Syaikh Sa’id meletakkan tangannya di atas tangannya, di depan khalayak ramai di Masjid Nabawi, kemudian membaca Bismillah dan memuji-Nya, serta bershalawat kepada Nabi Saw, lalu berkata, “Wahai kaum muslimin, bersaksilah engkau bahwa Sa’id bin Al-Mussayib telah menikahkan putrinya Fulanah, dengan Abdullah bin Abu Wada’ah, sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw, dengan mahar seharga tiga dirham”. Kemudian dia menutup ucapannya dengan salam kepada Rasulullah Saw dan berdoa dengan kebaikan kepada Allah Swt. Namun, mungkinkah ini terjadi, batin Abdullah bin Abu Wada’ah.
Sejurus kemudian, Syaikh Sa’id membuyarkan lamunan Abdullah bin Abu Wada’ah. Setelah itu, Syaikh Sa’id duduk sambil menerangkan kepada Abdullah bin Abu Wada’ah makna dari hadits Nabi Saw, yang berbunyi, “Barang siapa yang menikahi seorang wanita karena hartamya, maka Allah tidak akan menambah untuknya kecuali kefakiran; barang siapa yang menikahi seorang karena nasabnya, maka Allah tidak akan menambah untuknya kecuali kehinaan; dan barang siapa yang menikahi wanita karena agamanya, maka Allah akan memberkati laki-laki itu dengannya dan akan memberkati wanita itu dengannya.”

* * *
Ketika waktu maghrib, Abdullah bin Abu Wada’ah sedang berada di rumahnya yang sederhana untuk bersiap berbuka puasa. Tiba-tiba, ia mendengar pintunya diketuk orang.
“Siapakah yang mengetuk pintu?” tanya Abdullah bin Abu Wada’ah.
”Sa’id!” kata si pengetuk pintu.
 
Mendengar itu, Abdullah bin Abu Wada’ah langung menyangka, bahwa Sa’id yang mengetuk pintu rumahnya adalah Syaikh Sa’id bin Musayyib. Abdullah bin Abu Wada’ah bergegas membuka pintu rumahnya dalam keadaan takut dan cemas. Ia menyangka Syaikh berbalik dari perkataan yang telah diucapkannya, atau barangkali wanita yang dia carikan tersebut hendak menolak untuk menikah dengannya.
 
Namun, betapa terkejutnya, ketika ia membuka pintu, tiba-tiba ia melihat Syaikh Sa’id datang bersama dengan putrinya yang cantik terlihat dengan pakaian pengantinnya, sedangkan bersamanya ada beberapa gadis yang membawa hadiah-hadiah.
 
Syaikh Sa’id berkata, “Sekarang engkau adalah seorang laki-laki yang sedang membujang (duda), maka hendaklah engkau menikah karena aku khawatir pada malam hari ini engkau akan tidur sendirian, dan inilah putriku. Aku akan menikahkannya denganmu.”
 
Setelah itu, Syaikh Sa’id dan rombongan meninggalkan rumah Abdullah bin Abu Wada’ah, pulang ke rumahnya. Kini Abdullah bin Abu Wada’ah tidak lagi seorang diri. Ia ditemani istrinya yang jelita, putri dari Syaikh Sa’id. Sungguh, tak terbayangkan kebahagiaan Abdullah bin Abu Wada’ah. Kebahagiaan yang tak terungkapkan lewat kata.
 
Kemudian, Abdullah bin Abu Wada’ah naik ke atas atap rumah. Ia berteriak, “Wahai fulan! Wahai fulan!”. Mendengar teriakan itu, para tetangganya menjulurkan kepalanya ke arah Abdullah bin Abu Wada’ah dari jendela rumah mereka masing-masing.
Mereka bertanya, “Ada apa wahai Abdullah?”
Ia menjawab, “Saya bersaksi kepada kalian, bahwa Syaikh Sa’id bin Musayyib telah menikahkan putrinya untukku, dan sesungguhnya dia sedang berada di rumahku sekarang ini sejak malam ini. Hal ini sengaja aku sampaikan kepada kalian, supaya kalian tidak menyangka hal-hal yang tidak baik, apabila kalian mendengar dari rumahku ada suara wanita.”
Sebagian mereka berkata, “Apakah engkau sedang bergurau, wahai Ibnu Abu Wada’ah?”
Sebagian lainnya berkata, “Apakah engkau sudah gila? Bagaimana mungkin dia akan menikahkan putrinya denganmu, sedangkan dia sudah menolak lamaran putra mahkota Amirul Mukminin?”
Mendengar perkataan para tetangganya, Abdullah bin Abu Wada’ah berkata,”Syaikh telah menepati janjinya kepadaku, dan sungguh, putrinya itu sedang berada di rumahku saat ini!”
Untuk memastikan apa yang disampaikan Abdullah bin Abu Wada’ah, sebagian laki-laki dari tetangganya mengutus istri-istri mereka guna memeriksa kebenaran perkataan itu. Dan benar saja, mereka pun menemukan putri Syaikh Sa’id di rumah Abdullah bin Abu Wada’ah. Setelah yakin, mereka kembali ke rumah masing-masing untuk mengatakan kepada suami mereka, bahwa putrid Syaikh Sa’id benar-benar telah menjadi istri dari Abdullah bin Abu Wada’ah.
Setelah itu, semua laki-laki dan perempuan dari tetangga Abdullah bin Abu Wada’ah datang ke rumahnya untuk mengucapkan selamat dan mengadakan pesta sederhana. Walaupun sangat sederhana, pesta itu mencerminkan kebahagiaan hati yang memenuhi langit dan bumi, yang terlahir dari cinta karena Allah.
 
Ketika Syaikh Sa’id bin al-Musayyib ditanya orang tentang alasannya menikahkan putrinya dengan Abdullah, dia menjawab, “Aku tidak pernah memandang masalah kaya atau miskin dalam menikahkan putriku dengan seseorang, tetapi aku melihat seorang laki-laki yang aku kenal sebagai pahlawan dari para pahlawan kehidupan, yang mempunyai senjata agama dan kemuliaan akhlak. Aku yakin, bahwa ketika aku mengawinkan putriku dengannya, dia akan memahami kemuliaan dirinya dan kemuliaan suaminya. Oleh karena itu, bertemulah dua tabiat yang harmonis, sedangkan kebahagiaan tidak akan timbul dari laki-laki dan wanita apabila tabiat mereka tidak cocok. Saya tahu dan semua orang juga tahu, bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang akan dapat membeli kecocokan atau keharmonisan ini, karena itu merupakan hadiah satu hati kepada hati yang lain, sehingga keduanya saling terbiasa dan saling mencinta.”
 
Beberapa waktu kemudian, Abdullah bin Abu Wada’ah berkata, “Satu minggu aku lewati masa pengantin baruku, seakan-akan aku berada di taman surga. Setelah itu, aku meminta izin kepadanya untuk keluar.”
Istrinya bertanya, “Mau kemana engkau, suamiku?”
Abdullah bin Abu Wada’ah menjawab, “Aku hendak menghadiri majlis pengajian Syaikh Sa’id.”
Istrinya berkata, “Duduklah di sini, wahai suamiku. Aku akan mengajarkan kepadamu ilmu-ilmu Sa’id!”.
Bahagia pun kian menyelimuti kedua insan yang bertakwa ini. 

Penulis: Al-Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu Muslim
Sumber: Majalah Asy Syariah, no. 03/I/Ramadhan 1424 H/Oktober-November 2003, hal. 21-22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar